• Home
  • Travel
  • Review
    • Film
    • Book
  • Jurnal
    • Event
    • My Space
  • About

                        D e a     M e r i n a

“Don't be pushed around by the fears in your mind. Be led by the dreams in your heart.” ― Roy T. Bennett, The Light in the Heart

Powered by Blogger.

Pagi itu aku sudah duduk manis didalam kereta. Kulirik jam tanganku. Pukul 7 lebih 20 menit. Perjalanan kali ini tidak akan lama. Aku duduk menyandarkan punggungku lebih nyaman sambil melihat keluar jendela. Entah sudah perjalanan keberapa kali ini. Aku yakin petugas loket stasiun pastilah sudah hafal dengan wajahku dan jam kedatanganku. Tujuanku saja yang berbeda-beda. Kuraih telepon genggam yang ada didalam tasku dan menchargenya. Sepasang pemuda pemudi duduk dihadapanku sambil berbincang seru. Aku tebak usia mereka sekitar awal 20an. Aku tersenyum melihatnya. Dulu juga kau begitu, Sha, batinku.

Sejenak aku teringat kejadian lampau. Aku baru memasuki kereta. Pandanganku mencari-cari nomor seat yang dimaksud. Kubaca lagi pesan darinya untuk memastikan seat yang dimaksud. Mana ya? Tanyaku pada diri sendiri sambil terus melangkah. Ah, that’s it. Akhirnya aku menemukannya. Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum melirik ke sebalah kirinya. Kubalas dengan tersenyum seakan mengatakan tak apa aku bisa duduk di bangku lain. Setelah mendapatkan tempat duduk, telepon genggamku berdering pertanda pesan masuk.

“Sorry nggak aku jagain tempatnya” katanya.

“Haha, nggak apa-apa masak iya kamu tega mau ngelarang ibu-ibu duduk disebelahmu” balasku. Seperti biasa, aku selalu duduk di dekat jendela. Tiba-tiba dia muncul duduk disebelahku sambil berkata

“Kok nggak bilang kalo sebelahmu kosong?” Tanyanya yang kujawab dengan senyuman.
Ah, waktu itu perjalanan pertama kami naik kereta ke tempat yang lumayan jauh. Aku sangat senang. Menghabiskan waktu dengannya membuatku candu. Kalau bukan karena tugas dari kampus aku rasa dia tak akan mau naik kereta.

            “Disini ada orangnya, Mbak?” Tanya seorang bapak-bapak padaku membuyarkan lamunanku.

            “Oh nggak, Pak. Silahkan” Kataku. Bapak itu langsung duduk dan menata barang bawaannya supaya ia bisa duduk nyaman.

            “Sendiri?” Tanya bapak disebelahku yang ternyata namanya Pak Atmo.

            “Hehe, iya pak. Bapak juga?” Balasku. Sebenarnya aku sedang tidak ingin berbincang dengan siapapun tapi aku rasa tidak sopan menolak ajakan berbicara seseorang. Apalagi dia lebih tua dariku.

Kami pun mengobrol ngalur ngidul. Itu sedikit mebantuku mengalihkan rasa yang sama setiap kali aku naik kereta. Tidak lama bapak itu ijin padaku untuk tidur karena dia tidak tidur semalam karna menjaga anaknya yang sakit. Sepasang pemuda-pemudi didepanku juga melakukan hal yang sama dengan bapak disampingku. Mereka tertidur dengan menggunakan earphone bersama.

Kupandang pepohonan yang ada diluar jendela. Aku teringat, saat itu kami mendapat tugas untuk survey disebuah desa. Tidak berdua. Beramai-ramai. Hanya berangkatnya saja yang kebetulan berdua naik kereta. Sesampainya dilokasi hari sudah petang. Aku, dia, dan Alma memutuskan untuk makan malam diluar basecamp. Selesainya kami makan, kami berjalan kembali ke basecamp. Tapi, ia menahanku untuk tetap bersamanya.

“Nanti dulu kembalinya”. Pintanya menarik lenganku. Alma sudah kembali terlebih dahulu karna lelah perjalanan jauh.

“Eh, lihat bintangnya keliatan jelas!” Aku menengadah terkagum-kagum. Saat itu kami dipinggir jalan, kami pun mencari tempat duduk yang layak untuk memandang langit. Aktivitas favorit kami. Saat melewati toko aksesoris, kami mampir sebentar. Aku tak begitu tertarik, ia yang bersemangat. Tak terasa kami mengobrol cukup lama hingga jam menunjukkan pukul 11 malam. Aku mengenakan gelang berwarna merah marun seperti yang ia kenakan yang ia beli di toko tadi.

Besoknya, kami bangun dan langsung bergegas bersih diri. Kegiatan survey dilakukan pagi ini. Kami berangkat beramai-ramai dengan mahasiswa lain menggunakan bus sewaan. Bus hanya mengantar kami sampai ujung jalan beraspal. Sisa perjalannya kami harus menaiki truck karena medannya yang tidak dapat dilalui bus. Semalam ternyata sempat hujan, hingga membuat jalanan licin. Aku menikmati pemadangan hijau kanan kiriku. Kapan lagi liat beginian, batinku. Kamu ada di truck yang lainnya. Hingga truck berhenti karna tidak bisa melewati medan sisa perjalanan. Kami harus berjalan kaki menaiki bukit dan melewati sungai. Kamu tiba-tiba sudah berjalan disebelahku.

“Nah, ndaki tuh sama kayak gini juga medannya” Kamu bercerita asik pengalamanmu mendaki beberapa hari lalu. Pengalaman pertamamu. Aku mendengarkan dengan seksama. Memperhatikanmu begitu antusias bercerita. Seperti seorang anak kecil yang diajak keliling kebun binantang. Aku tersenyum. Beberapa teman memanggilmu untuk membantu mereka melakukan sesuatu, kamu menoleh dan berpamitan kepadaku.

Aku ingat, saat itu musim hujan dipertengahan bulan Februari. Perlahan hujan mulai turun rintik-rintik. Aku bersama Alma berjalan beriringan. Aku sangat amat menikmati perjalanan seperti ini. Hingga aku tak sadar meninggalkan Alma dibelakangku. Ia nampak kelelahan.

“Nggak papa, Al?” Tanyaku cemas memeprhatikannya yang berusaha bernafas dengan normal.

“Aku nggak kuat, Sha. Susah banget buat nafas” Kata Alma sambil berpegangan pada lenganku. Tangannya bergetar. Seketika aku langsung memberitahu keadaan Alma kepada teman-teman yang lain. Melihat Alma kelelahan karna perjalan jauh semalam, akhirnya kami beristirahat di warung penduduk. Aku menemani Alma yang tidur di gubuk pemilik warung. Sedangkan teman-teman tetap menuju lokasi survey, kami diminta menunggu hingga mereka turun. Tak masalah buatku, asal tak ada korban di kegiatan ini.

Lamat-lamat memperhatikan hujan, aku pun perlahan mengantuk dan tertidur disamping Alma. Tiba-tiba aku merasakan tetesan air dipipiku. Saat aku membuka mata, kulihat gubuk ini bocor disana sini. Diluar hujan sangat deras. Angin bertiup kencang hingga gubuk yang kami tempati bergoyang-goyang. Alma terlihat kesulitan bernafas. Aku panik melihatnya begitu pucat terenggah-enggah. Kucoba membangunkannya sambil menyelimutinya dengan kain yang dapat kutemukan diranjang.

“Sha.... se...sak......” kata Alma terbata-bata. Aku segera mengambil minyak kayu putih dan menggosok-gosokan ke tangan dan kakinya. Aku tahu Alma tidak memiliki penyakit asma. Jadi hanya itu yang bisa kulakukan. Hujan semakin deras. Aku semakin panik.  Aku keluar gubuk untuk menemui pemilik warung. Tak ada orang. Bagaimana ini? Batinku. Tak ada rumah penduduk disekitar sini. Kuraih ponselku, tak ada sinyal. Sial! Kataku. Dalam situasi seperti ini aku hanya bisa berdoa dan berharap ada seseorang yang akan lewat.

Beberapa menit kemudian, kudengar suara berbincang sambil berlarian melewati gubuk kami. Aku segera keluar dan berteriak. Mereka terkejut dan segera membantu kami turun. Aku segera memasangkan jas hujan untuk Alma dan tak lupa kutulis pesan terima kasih dan beberapa lembar uang untuk pemilik gubuk ini. Dalam perjalanan aku menanyakanmu kepada teman-teman. Masih dibelakang, kata mereka. Semoga saja kamu cepat kembali karna aku khawatir dengan cuaca buruk seperti ini. Apalagi mengingat medan yang akan kita lalui untuk kembali juga tidak mudah.

Aku memegang erat lengan Alma saat menyebrangi sungai. Sungguh mengerikan saat melihat sungai meluap dengan arus yang deras. Aku dan Putra memegangi Alma sambil melangkah dengan hati-hati. Sekali saja terpeleset kita bisa hanyut. Saat melangkah aku salah memijakkan kaki pada batu yang berlumut. Seketika badanku goyah dan melepaskan peganganku pada Alma agar ia tak terjatuh. Teman-teman berteriak.

“Dendy, pegangin Alma!” teriakku. Dendy berada ditengah-tengah sungai untuk membatu teman-teman menyebrang. Ia dengan sigap menangkap tubuh Alma. Untung Alma tidak jatuh, kataku. Badanku dingin menyentuh air. Aku seakan berjalan menjauh.

Lamunanku tersentak oleh suara petugas yang memberitahukan kereta telah sampai ditempat tujuanku. Kulihat sepasang pemuda didepanku sudah tak ada. Begitu pula dengan bapak-bapak yang ada disampingku. Sepertinya mereka turun di stasiun sebelumnya. Aku merapikan barang bawaanku dan mengambil ponselku yang tadi dicharge. Aku berdiri melangkah keluar gerbong.

          Aku menyebrangi rel-rel menuju pintu keluar. Kulihat banyak kerumunan mahasiswa dikanan kiriku. Sejenak aku berhenti menatap layar ponselku. Ah, setahun lalu bukannya aku kemari bersamamu? Tapi kini aku seorang diri. Diantar kerumunan orang didepanku, tepat didepan musholla aku melihat sesosok yang sangat amat kukenal. Sosok yang membuatku candu berpergian dengan kereta seorang diri. Kamu. Aku tak bisa merasakan degup jantungku kala itu melihatmu. Tepat dibawah tulisan ‘Stasiun Jember’ Kamu berdiri menghadap aku. Aku termenung. Seketika aku tersenyum melangkahkan kaki perlahan mendekatimu. Kamu sibuk dengan ponselmu. Entah siapa yang kau hubungi. Hingga aku benar-benar dihadapanmu pun kamu tak menyadarinya. Aku perhatikan wajahmu dengan seksama. Masih sama seperti dulu. Rambut itu. Rambut berantakan yang selalu senang kumainkan jika aku kesal denganmu. Ingin aku melakukannya lagi. Bahkan, gelang biru dongker itu masih kau kenakan. Tapi, kenapa raut wajahmu muram. Perlahan aku berdiri kesampingmu dan melihat dengan penasaran siapa yang coba kau hubungi. Itu, fotoku!
sumber : google


Setelah berbagai macam cara aku berusaha untuk merayu Tuhan, nyatanya Ia tak kunjung luluh. Aku bertanya-tanya, apa yang salah? Apakah ada yang tak sesuai kehendak-Nya? Apakah aku nampak kurang bersungguh-sungguh merayu-Nya? Ah, lantas apalagi yang harus kulakukan? Aku lelah! Tidakkah Kau ingat akan apa yang aku lakukan pada mereka?

Saat itu, tepat saat aku keluar dari mini market seusai membeli roti dan susu untuk sarapan, aku melihat seorang wanita paruh baya  disudut pelataran mini market. Bajunya nampak lusuh. Entah sudah berapa lama ia tak menggantinya. Kulitnya hitam legam pertanda ia bersahabat dengan terik matahari. Ia tak menggunakan alas kaki hingga hitam yang nampak pada jemari kukunya. Aku hanya berjarak beberapa langkah dari wanita paruh baya itu. Aku terdiam sesaat memperhatikannya. Kupandang belanjaan yang kutenteng. Apakah aku benar-benar membutuhkannya? Dengan cepat aku melangkahkan kaki mendekati wanita itu dan memberikannya kepada sang nenek sambil berdoa dalam hati. Tak lupa kuselipkan beberapa lembar uang. Ia tersenyum penuh haru memandangku. Aku pun berlalu.  

Kuinjak pedal rem dan menggeser persneling pada gigi netral. Kuraih ponsel yang tadi kuletakkan di kursi penumpang sebelahku. Aku membuka platform media sosial. Instagram. Wih, dimana nih kayaknya tempatnya enak deh. Seorang teman mengupload foto ia sedang makan siang di sebuh kafe kekinian di salah satu sudut kota. Disaat yang sama, seorang bocah laki-laki berusia sekitar 8 tahunan mengetuk jendelaku. Padanganku teralihkan padanya. Kuperhatikan wajahnya memelas. Tangannya menengadah mengharap belas kasih. Belum makan 3 hari mbak. Kasihan. Ucapnya entah sesuai dengan keadaannya atau hanya membual. Sekilas kulirik lagi foto makanan pada ponselku. Aku menarik beberapa lembar uang dari dompet. Kubuka jendelaku dan kuberikan padanya sambil berdoa dalam hati.

Aku melambaikan tangan pada temanku yang memasuki mobilnya dan berlalu. Aku mendengus mengingat harus berjalan kaki cukup jauh menuju tempat aku memarkir mobil. Seandainya saja mall sore ini tak sepadat ini, aku pasti mendapatkan tempat parkir didalam gedung. Ah, tak apalah hitung-hitung jalan-jalan sore. Kataku menghibur diri sendiri. Baru beberapa meter keluar gedung mall, aku mendapati seorang kakek yang berjualan mainan anak-anak. Aku memperlambat langkahku sambil memperhatikan kakek itu. Hari gini, mana ada anak kecil yang mau mainan kayak gitu. Yang ada mah mainan tablet. Kakek itu berusaha menawarkan dagangannya kepada seorang bocah laki-laki. Jangankan menoleh, kehadiran sang kakek pun mungkin bocah itu tak tahu. Bocah itu sedang asyik menatap layar ponsel yang ia genggam. Entah milikya atau milik orang tuanya. Aku mempercepat langkahku mendekati kakek itu. tersenyum dan mengatakan sesuatu pada sang kakek. Tak lupa aku berdoa didalam hati. Kakek itu sungguh senang bukan main.  

Saat sedang terjebak mancet sepert ini, seringkali aku berandai-andai dengan imajinasiku. Seandainya saja kota ini nggak macet. Nggak berpolusi. Banyak pohonnya. Orang-orang pada jalan kaki kemana-mana. Dan masih banyak lagi seandainya yang lain. Aku memperhatikan jalan raya yang sedang kulintasi ini. Jalan arteri yang sangat amat padat di setiap waktunya., terutama malam ini. Mungkin hanya senggang di tengah malam. Terdiri dari 4 lajur termasuk 1 lajur sepeda. Mataku terhenti kepada seorang gadis remaja didepanku. Dia terlihat kebingungan menatap sepeda motornya. Aku memutuskan untuk turun dan bertanya padanya. Ia kehabisan bensin. Seketika aku ingat pernah menonton video di youtube bagaimana cara mengambil bensin dari tangki mobil. Kulakukan hal yang sama dibantu seorang tukang parkir. Kupindahkan dalam botol dan menuangkannya pada tangki motor gadis itu. sekali lagi ia mencoba menyalakn motornya. Berhasil. Ia nampak lega bukan main dan berterima kasih kepadaku. Kuberikan beberapa uang takut ia kembali kehabisan bensin karna perjalanannya cukup jauh. aku mengucap doa dalam hati dan kembali masuk kedalam mobil.

Oh, jadi begitu? Kamu berusaha untuk menipu Tuhan? Kamu pikir, Tuhan tak tahu jika disetiap perbuatanmu itu kau lakukan dengan terpaksa? Berlagak ikhlas padahal mengharap kembali.

Seketika aku tersentak mendengar kata-kata yang menggema dalam kepalaku.

Older Posts

Follow by Email

1Minggu1Cerita

1minggu1cerita

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan

LET’S BE FRIENDS

Blog archive

  • ▼  2021 (21)
    • ▼  April (3)
      • Facial Treatment di Hayyu : Brightening Facial dan...
      • Review Techno: Bardi Smart Light Bulb 12W-RGBWW
      • Cara Menghabiskan Uang Sebelum Menabung
    • ►  February (4)
    • ►  January (14)
  • ►  2020 (53)
    • ►  December (17)
    • ►  November (10)
    • ►  October (5)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  May (7)
    • ►  April (2)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2019 (20)
    • ►  October (2)
    • ►  September (5)
    • ►  August (1)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2018 (63)
    • ►  December (1)
    • ►  November (12)
    • ►  October (5)
    • ►  September (4)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (8)
    • ►  May (4)
    • ►  April (6)
    • ►  March (7)
    • ►  February (8)
    • ►  January (4)
  • ►  2017 (15)
    • ►  December (6)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  April (3)
    • ►  January (2)
  • ►  2015 (22)
    • ►  November (3)
    • ►  October (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (6)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (2)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)

SUBSCRIBE NEWLETTER

recent posts

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates