• Home
  • Travel
  • Review
    • Film
    • Book
  • Jurnal
    • Event
    • My Space
  • About

                        D e a     M e r i n a

“Don't be pushed around by the fears in your mind. Be led by the dreams in your heart.” ― Roy T. Bennett, The Light in the Heart

Powered by Blogger.

 



Dalam kegaiatan sehari-harimu, tentu kamu diliputi berbagai macam perasaan. Kadang senang, sedih, kecewa, atau bahkan marah. Nggak ada yang aneh dengan semua perasaan itu. Wajar. Yang bikin nggak wajar adalah saat perasaan itu berlangsung terus menerus dan mengganggu kegiatanmu. Pernah nggak sih kamu merasa saat kepalamu penuh dan nggak tahu mau meluapkannya sama siapa? Honestly, as an introvert, saya sering mengalaminya 🙂


Nyatanya nggak semua orang bisa meluapkan apa yang dia rasakan. Ke teman terbaiknya atau bahkan ke keluarganya sekalipun. Bukan karena nggak percaya, tapi terkadang ada perasaan nggak nyaman saat harus mengganggu orang lain. Atau ada pula yang memang lebih suka untuk tidak menceritakan perasaan yang sedang dialaminya atau masalahnya. 


Baca juga: Serba Serbi Memori 2017 (Part 2)

Tapi, kamu tahu nggak sih kalau memendam perasaan atau pikiran negatif dalam jangka waktu yang lama dapat berakibat buruk bagi kesehatanmu? Nggak mau kan masih umur 20an tapi udah sakit-sakitan? Nah, daripada membayar biaya pengobatan yang nggak murah, mending kamu lakukan hal sederhana lain secara rutin yang bisa membuatmu lebih lega dari hari ke hari dengan journaling.


Apa itu journaling?


Sumber : Pexels


Journaling atau kegiatan menulis jurnal adalah kegiatan menuliskan pikiran atau perasaan yang sedang kita rasakan ke dalam sebuah medium. Hal ini penting untuk dilakukan terutama buat kamu yang sering kebingungan bagaimana meluapkan emosi yang sedang kamu rasakan. 


Kamu bebas menuliskan apa pun tanpa takut dihakimi oleh orang lain. Kamu juga nggak perlu merisaukan tata bahasa. Tulislah sesuai dengan bahasa yang membuatmu nyaman. Bisa dalam bahasa Indonesia, bahasa inggris, atau daerah sekalipun. Nggak perlu juga harus berpatokan dengan PUEBI. Tenang, ini bukan ujian bahasa kok. Just express yourself! 😉



Manfaat journaling


Saya pribadi sebenernya udah suka journaling sejak sd dan hal itu masih saya lakukan sampai sekarang. Meski terkadang sering juga vakum, tapi saya selalu kembali lagi buat ‘curhat’ di buku tulis saya. Sampai sekarang saya nggak tahu pasti sudah berapa banyak buku yang sudah tamat 🤣


Setelah vakum beberapa lama, saya belakangan balik lagi dengan kebiasaan ini. Dan, satu hal yang baru saya sadari. Saya menuliskan semua perasaan saya, saya secara otomatis juga sedang menganalisa perasaan tersebut. Saya jadi lebih paham gambaran umum dari masalah satau perasaan yang sedang saya hadapi. Setelah sekian lama saya baru sadar kalau saya begini dan begitu setelah saya baca ulang tulisan saya kemarin. Setelahnya pun saya jadi tahu apa yang akan saya lakukan. Seolah saya menemukan solusinya. 


Saat sedang menulis pun saya merasakan ada kelegaan dalam hati. Seolah gumpalan awan hitam yang menelimuti hati dan pikiran mengalir dari hati atau pikiran ke pena yang sedang saya gunakan. Dan bahkan, selain lega saya juga jadi merasa, “Eh, kayaknya harusnya saya nggak ngerasa segalau ini deh. Masalahnya cuma gini doang. Astaga ngapain ya tadi aku galau banget?” 🤣 saya nggak tahu kalian juga sama begini atau nggak. Tapi, ini seringkali terjadi di saya hehe. Dari galau lalu sadar sampai akhirnya balik happy lagi. 


Dengan mengeluarkan semua uneg-uneg ke dalam tulisan kamu juga sedang berusaha untuk menjaga kesehatan mentalmu agar tetap baik-baik aja. Jangan pernah meremehkan perasaanmu sekecil apa pun. Karena hal kecil yang dibiarkan menumpuk berlarut-larut bakalan jadi sesuatu yang nggak diinginkan ke depannya 🙂 





Selain itu, menurut video Satu Persen yang saya tonton, journaling juga punya manfaat untuk mengasah otak kiri khususnya bagian analitical dan rasional. Buat kalian yang sedang memahami diri sendiri, bisa banget nih nontonin video Satu Persen di Youtube atau bisa juga ngikutin Instagram-nya. Banyak banget pembahasan psikologi yang membantu kita untuk mengenal diri sendiri. 


Cara memulai journaling


Nggak ada waktu yang pasti kapan harus melakukan journaling. Senyamannya aja. Kalau saya pribadi lebih sering melakukannya malam hari. Sekalian refleksi diri kira-kira seharian udah ngapain aja. Tapi, kalau kalian lebih nyaman pagi karena mungkin lebih semangat juga nggak ada masalah. 


Journaling juga nggak butuh waktu yang lama. Mau 10 menit atau lebih juga boleh banget. Yang penting mah lega aja. Kegiatan ini nggak akan terlihat hasilnya kalau hanya dilakukan sekali atau dua kali aja. Dengan konsisten melakukan kegiatan ini 10 menit setiap hari, baru deh bakalan kelihatan hasilnya. 


Kegiatan ini bisa dilakukan oleh siapa pun, berapa pun umurnya, apa pun pekerjaannya, introvert atau extrovert (mostly introvert sih setahu saya ehhe), dan yang jelas kegiatan healing ini gratis 😆 Jadi, apakah masih ada alasan untuk nggak mencobanya? Hehe


Selamat mencobaaaa~






Judul : Sheila. Luka Hati Seorang Gadis Kecil 
Halaman : 475 halaman 
Penulis : Torey Hayden 

Buku ini menceritakan mengenai seorang anak perempuan berusia 6,5 tahun yang cantik dan sangat pintar. Tapi, sayangnya dia mengalami gangguan emosional. Sering banget bikin ulah sampai-sampai jadi perhatian dinas sosial. Nggak Cuma sekali dua kali aja dia berulah. Sebentar aja dia nggak diawasi, pasti ada aja keributan yang ditimbulkan gadis kecil ini.

Kejadian luar biasa yang terakhir dia lakukan adalah menculik seorang anak laki-laki berusia 4 tahun, mengikatnya di pohon, dan membakarnya. Untungnya, nggak sampai meninggal. Kejadian itu bikin Sheila tenar seketika. Dan dianggap terror bagi para orang tua. Alhasil, dia pun di keluarkan dari sekolahnya dan dinas sosial berencana memasukkannya ke rumah sakit negara (sejenis rumah sakit jiwa). Tapi berhubung rumah sakit negara penuh, dia di tempatkan untuk sementara di sekolah luar biasa tempat Torey Hayden mengabdi hingga ada tempat yang tersedia di rumah sakit negara. Iya, ini based on true story emang. Di sekolah ini, bisa dibilang Sheila lah satu-satunya murid yang ‘normal’.
Bagi Torey, Sheila adalah anak yang mudah untuk disayangi. Gimana nggak, dia cantik dan pintar. Berulang kali Torey dan Allan (psikiater teman Torey) mengetes IQ Sheila. Dan hasilnya sangat amat mengejutkan. Ia memiliki IQ genius.

Berada di sekolah luar biasa nggak membuat Sheila jera. Ia juga sempat memporak porandakan ruang kelas guru lain. Hingga membuat kepala sekolah jengah dan ingin sesegera mungkin memindahkannya ke rumah sakit negara. Mr Collins tak dapat menahan diri untuk tidak mencambuknya. Hingga membuat Torey mau tak mau berlutut menyaksikan Sheila dicambuk didepan matanya.

Sheila bertingkah laku begitu bukan tanpa alasan. Ibunya mendorongnya dari mobil dan meninggalkannya dijalan raya saat berusia 4 tahun. Setelah kejadian itu Sheila tinggal bersama ayahnya yang pemabuk. Ayahnya seringkali memukuli Sheila saat dia berbuat salah. Tapi toh ayahnya sayang juga sama dia. Menyanyangi dengan cara yang salah bagiku. Bisa dibilang ayahnya juga stres karna ditinggal istrinya dan anak keduanya. kehidupan keluarga Sheila sangat amat pas-pasan. Hmm bahkan memprihatinkan. Mereka tinggal di gubuk kecil di perkampungan migran. 

Yang bikin emosianal pas baca novel ini adalah, Sheila pernah mengalami sexual harassment dengan pamannya sebagai pelaku. Sangat amat nggak habis pikir sebenernya. Gimana bisa ada seorang paman yang tega melakukan hal bejat semacam itu dengan keponakannya? Bahkan menggunakan pisau hingga membuat Sheila berdarah-darah. Untungnya Torey langsung tahu karena melihat Sheila tiba disekolah dengan gelagat yang aneh. Ia tak menggunakan gaun kesayangannya, melainkan kaos terusannya yang usang. Wajahnya pucat dan ia menjadi pendiam seketika. Berkali-kali pergi ke kamar mandi membuat Torey penasaran. Mungkin ia sakit. Tetapi betapa terkejutnya Torey melihat Sheila berdarah. Torey langsung membawanya ke rumah sakit dan melaporkan kejadian itu. Dan saat itu juga Pamannya masuk penjara lagi. 

Overall, buku ini bagus banget nget nget. Sangat emosional waktu baca. Karna emang ceritanya menyayat sekali. Nggak bisa bayangin gimana rasanya jadi Sheila. Tekanan batin yang dia alami nggak main-main. Ditelantarin ibunya, dipukuli ayahnya. Nggak heran kalo dia jadi nggak gampang percaya sama orang. Semua kejadian membawa hikmah tersendiri. Ia tumbuh menjadi gadis yang kuat. Nggak cengeng. Bahkan dia nggak pernah menangis sama sekali, baginya menangis menurunkan harga dirinya.

Tetapi, semenjak ketemu Torey, dia jadi lebih hidup. Karena Torey mengajar dengan hati. Torey membuat Sheila merasakan kasih sayang yang ia dambakan selama ini. Tidak seperti guru-guru Sheila yang lain yang hanya mengajar demi profesi. Tetapi, justru karena dengan hati ini membuat Torey dan Sheila sama-sama sulit saat berpisah. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari buku ini. Bagaimana menganggap mereka (anak-anak dengan gangguan mental) tidak gila, mereka sama seperti anak kebanyakan. Hanya saja mengalami sedikit gangguan. Dan sedihnya gangguan itu disebabkan oleh orang sekitarnya. Karena kebanyakan dari mereka mengalami trauma semasa kecil.  Banyak orang yang nggak bisa punya anak dan berharap punya anak. Tetapi, banyak juga mereka yang punya anak malah menyianyiakan anak mereka. Aku harap nggak ada sheila-sheila yang lainnya. Aamiin.





Banyak yang bilang kita harus selalu menjadi gelas kosong. Supaya mudah saat diisi ilmu. Dimanapun, dengan siapapun. Jangan memandang jabatan, ras, usia, atau apapun itu. Aku setuju dengan hal itu. karena dengan begitu kita bisa tau suatu hal dari beberapa versi. Karena toh kalo kita tanya ke seseorang mengenai suatu hal, jawaban mereka pasti beda-beda. Walaupun ada juga yang punya perspektif sama, cumaa ada beberapa variasi. Kan beda kepala beda isi hehe. Apalagi pengalaman tiap orang kan beda-beda.

Jadi orang yang dalaam proses belajar itu bisa dibilang orang yang belajar sok. Sok nggak tahu apa-apa. Dalam segala hal. Dia akan banyak bertanya macam-macam. Mulai dari pertanyaan yang sangat sederhana atau umum hingga pertanyaan yang tak bisa dijelaskan oleh pakarnya. Bak bayi lahir yang masih polos ya hehe. Kayak kemaren aku ditanyain sama anak didikku begini,

                “Mbak, katanya manusia itu tercipta dari tanah. Tapi kalo dicubit kok nggak hancur?”

Dia nanya dengan wajah yang sangat amat innocent dan berharap akan jawaban yang bisa diterima. Okay back to topic.

Diremehkan teman, atasan, bawahan, jilbab (lho?) dll atas pertanyaan yang mereka anggap itu pertanyaan yang sangat amat bodoh. Wajar sih. Namanya juga orang nanya kan nggak tau apa-apa. Menjadi bodoh untuk menjadi pintar. Nggak jarang juga dapet kata-kata nggak enak. Kamu di sekolah ngapain aja? Umurmu berapa kok nggak tau ini itu? Kamu ngapain aja sih? Atau bahkan yang lebih parahnya sampe ngatain, Astaga bego banget sih gini aja nggak tau! Nah lho jahat banget yak ada orang nanya aja sampe dikatain kayak gitu. Semoga aja kalian nggak termasuksalah satu dari orang-orang tersbeut ya. Aamiin. Kalo doi tau kan nggak bakalan tanya juga yakan hehe. Mungkin orang yang ngatain itu alhamdulillah waktu lahir langsung jenius. Bisa nulis dan ngomong. Padahal seharusnya dia pun berkaca. Dulu, sebelum dia tau ini itu pun awalnya nggak tau sama sekali yakan?

Menjadi orang yang sok nggak tau apa-apa itu jauh lebih baik bagiku daripada menjadi orang yang sok tau banyak hal. Karena orang yang sok tau banyak hal akan selalu berusaha menjawab pertanyaa-pertanyaan yang diajukan orang lain. Pun ketika ia tak tahu menahu akan suatu hal. Ia akan berusaha mengarang alasan yang dipaksakan agar tetap dianggap tahu segalanya. Nggak apa-apa diremehin. Belajar itu butuh waktu kan? Hehe.

Dan lagi, orang yang berumur lebih banyak juga tidak selalu tahu segala hal daripada yang berumur sedikit. Karena, kembali lagi. Tiap orang melewati jalan yang berbeda-beda. Pengalaman berbeda. Cara berfikir berbeda. Lingkungan pun juga berbeda. Jadi, jangan selalu berpikir bahwa orang yang lebih tua usianya darimu itu mereka yang tahu lebih banyak hal dari kamu.

Jadi, yuuk belajar sok :)



Kalian pasti tahu banget deh kalo hidup di kota besar itu nggak gampang. Bagi mereka yang memiliki modal yang cukup (skill, ijazah, atau relasi) dan peluang mungkin mudah. Tetapi, untuk mereka yang bermodalkan nawaitu doang, bukanlah hal yang mudah. Salah-salah kalo sampe mereka nggak punya tujuan, mereka bakalan menjadi pengangguran karena persaingan yang ketat. Akibat dari itu sendiri pun sangat fatal. Tingginya angka kemiskinan dan tindak kriminal menjadi hal lumrah. Ya wajar aja banyak pencurian atau kejahatan wong di kota padet gitu orang kan bingung mau kerja apa, saingannya juga berat-berat. Kalo yang nggak punya modal untuk bersaing jadinya ya jadi penjahat. Entah itu jadi penjahat kecil atau besar.

Soal pencurian kecil, aku pernah mengalaminya. Waktu itu aku sama mama lagi pergi ke mall di daerah lontar. Waktu itu karena mall baru, kita pensaran gimana sih tempatnya dan isinya ada toko apa aja. Jadi sekedar jalan-jalan aja gitu. Pas udah kelar, baliklah kita ke parkiran. Waktu itu aku bawa motor goncengan sama mama. Nah, sesampainya di parkiran kagetlah kita. Ini motor sih bener motor kita, tapi yang bikin heran adalah helmnya. Helm aku ilang coy, berganti dengan entah ini helm siapa. Padahal aku inget banget helmku itu aku cantolin di dalem jok. Jadi cetekannya itu aku masukin kedalem jok, trus helmnya diluar. Ajaib emang pencuri jaman now. Niat banget. Berartikan pilihannya kalo nggak digunting ya diiris pisau. Yang bikin aku salut adalah, ternyata si pencuri ini perhatian banget sama aku. Doi naruh helm lain sebagai pengganti helmku. Mungkin dia mikir, ini yang punya helm kasian kali aja rumahnya jauh jadi kalo nggak pake helm bisa ketilang. Haha. Setidaknya ada sedikit rasa peduli (kali aja yakan). Dan helmnya masih aku pake sampe sekarang lho hehe.

Hikmahnyaa...... bisa disimpulkan sendiri eheh.




Beberapa pekan terakhir aku layaknya tersadarkan akan sesuatu. Seseorang bisa berubah karena sebuah masalah. Untuk hal ini, aku yakin yang kamu pikirkan adalah sifat orang tersebut, karakter. Tetapi tidak. Bukan itu yang aku maksud bisa beruabah disini. Melainkan wajahnya. Wajah? Ya. Ternyata wajah seseorang bisa berubah karena masalah. Entah ya. Tapi ini menurutku sih dari hasil pengamatanku sendiri dengan orang-orang terdekat.

In this case, anak kecil. Jadi aku kenal banget sama seorang bocah. Dia dilahirkan dengan kebahagiaan. Hidup dilingkungan yang baginya menyenangkan. Melenakan. Dia tak tahu menahu akan persoalan yang ia hadapi didepan. Orang tuanya selalu memberikan semua hal yang membahagiakan. Yang ia tahu ia selalu bisa tertawa setiap harinya dan makan makanan bergizi. Ia merupakan anak yang sangat amat periang, cerdas dan suka melucu. Aset terbaik sebuah keluarga.

Hingga usianya genap 4 tahun. dia mulai mengenal sebuah masalah. Dunia yang ia hadapi, nyatanya tak seindah yang ia jalani selama ini. Suatu ketika tragedi tersebut menimpanya. Mau tak mau, dengan usia yang sangat amat dini ia harus bisa menghadapinya. Menjalaninya. Perlahan-lahan, kelucuan yang nampak diwajahnya mulai memudar. Seakan tergantikan dengan garis kedewasaan. Wajahnya kini tak lagi sesegar dulu. Ada suatu aura yang membuat wajahnya nampak ingin dihibur. Memelas. Hatinya lembut. Karena semasa ia balita pun tak pernah diajarkan untuk memukul. Semenjak lahir ia mendapatkan perlakuan yang sangat baik. Pendidikan yang dijamin. Tetapi, kini semuanya telah berubah. Daya ingatnya mulai menurun. Tubuhnya semakin kecil. Pipi tambunnya kini tlah menguap digerus kesedihan. Semua didikan baik dimasa ia balita sedikit banyak menguap jua. Tercemari dengan pola asuh yang tak baik. Dipukul, dibentak. Tetapi, dari semua hal itu ada sesuatu kebaikan yang tumbuh. Kesabaran dan kedewasaan. Ia dipaksa keadaan untuk dewasa di usianya yang sangat belia.

Hal yang aku takutkan adalah kejadian buruk yang menimpanya bisa menjadi trauma baginya. Terutama kekerasan yang ia alami secara langsung. Membuatnya takut untuk bertindak karena akan menerima hukuman pukulan. Dan ini bisa jadi mematikan kreatifitas seorang anak. Karna bagaimanapun seorang anak yang dikekang akan selalu diajarkan mengenai batasan yang terlalu ketat. Sehingga dia tak akan berpikir out of the box. Karena saat ia ingin melangkah lebih dia berpikir “Ah, nanti aku dimarahi”.

Setiap kejadian tak ada yang sia-sia. Selalu memiliki hikmahnya tersendiri. Semoga saja Tuhan selalu melindunginya. Tanpa luput satu hal pun. Dan kelak, ia akan menjadi sosok yang bijaksana dengan kelembutan hatinya. Semoga.

”Komunikasi itu penting. Makanya belajar ngomong yang bener biar orang mau dengerin”
Rasa-rasanya sering banget aku denger orang-orang ngomong hal sejenis ini. Public speaking. Mereka selalu berpikir kalo orang yang hebat adalah mereka yang mampu berbicara dengan baik. Entah itu secara personal maupun didepan umum. Bahkan hingga banyak dibuka kelas. Jenis-jenis kelas yang ditawarkan pun beragam harganya. Dari yang gratis sampe bayar jutaan. Ada yang sehari beberapa jam aja, ada pula yang beberapa kali pertemuan. Mereka diajarkan untuk dapat berbicara yang baik. Berbicara yang baik disini aku rasa punya definisi ‘dapat mempengaruhi orang lain’. Agar orang yang kita ajak berbicara itu mau menuruti mau kita. Sejalan dengan pikiran kita.

Memang, aku akui berbicara itu sangat amat penting. Supaya kita bisa dengan mudah menyalurkan pendapat kita. Kebanyakan orang menilai seseorang dari bagaimana ia bisa berbicara dengan orang lain. Lancar atau terbata-bata. Jika kamu bisa berbicara lancar, maka kamu akan dipandang lebih. Lebih dipercaya, lebih dianggap, dan bisa jadi digaji lebih. Semua hal bisa dengan mudah kamu dapatkan jika kamu mampu mengolah kata dengan baik dan menyampaikannya secara lisan dengan baik pula.

Jika semua orang dilatih untuk bisa berbicara, lantas siapa yang akan mendengarkan? Mengapa ada kelas berbicara tetapi tak ada kelas mendengarkan? Apa ini yang jadi penyebab banyak orang bunuh diri? Karena ia merasa tak ada orang yang bisa mendengarkan dengan baik. Tak ada kelas yang mengajarkan bagaimana menjadi pendengar yang baik. Karena setiap orang berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan kesempatan berbicara terlebih dahulu.

Menjadi pendengar yang baik juga bukan hal yang mudah. Malahan bisa dibilang jauh lebih sulit dibandingkan dengan menjadi pembicara yang baik. Kalo menurut Peter Senge, untuk menjadi pembicara yang baik kita hanya butuh 3 unsur, yaitu:

a)      Mengirimkan pesan dengan jelas,
b)      Memilih media dengan tepat, dan
c)       Meminta kejelasan bahwa pesan diterima dengan baik .

Sedangkan untuk menjadi pendengar yang baik, kita butuh 6 unsur, yaitu :

a)      Hearing,  berusaha memperhatikan dengan konsentrasi penuh,
b)      Understanding, berusaha mengerti pesan secara komprehensif,
c)       Remembering, mencoba mengingat pesan (mencatat jika perlu),
d)      Interpreting, mencoba menginterpretasi pesan dengan objektif,
e)      Evaluating, mengevaluasi keseluruhan maksud pembicara,
f)       Responding, mencoba mengulang pesan untuk memastikan.

Nah lho kan banyak banget yang kudu dilakukan kalo mau jadi pendengar yang baik. Otomatis hal ini pun berbobot lebih ketimbang lawannya. Komunikasi yang baik juga membutuhkan pendengar yang baik. Bayangin aja kalo ada dua orang yang sama-sama pengen ngomong, sama-sama pengen didenger tanpa mau mendengarkan. Apa nggak sama aja kayak ngomong sama kaca?
Ngomong-ngomong soal kaca, coba deh berkaca. Lihat telingamu ada berapa? Bandingkan dengan mulutmu ada berapa? Hehe
Older Posts

Follow by Email

1Minggu1Cerita

1minggu1cerita

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan

LET’S BE FRIENDS

Blog archive

  • ▼  2021 (21)
    • ▼  April (3)
      • Facial Treatment di Hayyu : Brightening Facial dan...
      • Review Techno: Bardi Smart Light Bulb 12W-RGBWW
      • Cara Menghabiskan Uang Sebelum Menabung
    • ►  February (4)
    • ►  January (14)
  • ►  2020 (53)
    • ►  December (17)
    • ►  November (10)
    • ►  October (5)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  May (7)
    • ►  April (2)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2019 (20)
    • ►  October (2)
    • ►  September (5)
    • ►  August (1)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  February (4)
    • ►  January (3)
  • ►  2018 (63)
    • ►  December (1)
    • ►  November (12)
    • ►  October (5)
    • ►  September (4)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (8)
    • ►  May (4)
    • ►  April (6)
    • ►  March (7)
    • ►  February (8)
    • ►  January (4)
  • ►  2017 (15)
    • ►  December (6)
    • ►  November (2)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (6)
    • ►  October (1)
    • ►  April (3)
    • ►  January (2)
  • ►  2015 (22)
    • ►  November (3)
    • ►  October (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (6)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (2)
    • ►  March (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (1)

SUBSCRIBE NEWLETTER

recent posts

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates