Foto bareng ibu-ibu Panti Werdha Hargo Dedali |
Bulan Ramadhan biasanya identik dengan banyak hal-hal baik. Para
manusia yang notabenenya beragama islam berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan,
buka puasa bersama misalnya. Tetapi, hal ini tidak hanya dilakukan mayoritas
kaum muslim, kaum nasrani dan agama lain pun melakukan hal yang sama/kebaikan
yang sama untuk menghargai adat agama islam. Buka puasa bersama biasanya
dilakukan dengan orang-orang yang kurang mampu secara ekonomi atau bisa juga
yang membutuhkan kebersamaan kita. Anggap saja hal ini menyambung silahturahmi
antar manusia yang sebelumnya tidak saling kenal. Dan yang lebih dari itu
adalah, kita bisa belajar banyak hal dari mereka. Salah satunya, turut peduli
pada keadaan sekitar, menumbuhkan rasa simpati dan empati. Seperti tujuan puasa
pada dasarnya, yaitu ikut merasakan apa yang mereka rasakan, menahan rasa lapar
saat tak mampu membeli makanan.
Seperti tahun lalu, kali ini aku dan teman-teman
mengadakan buka puasa bersama (buber). Kalau tahun lalu kami mengadakannya di
Panti Asuhan yang penghuni pantinya adalah anak-anak kecil yang berusia 4-15
tahun, kali ini kami mengadakan buber dengan ibu-ibu penghuni Panti Werdha
Hargo Dedali. Di panti ini, penghuninya semuanya adalah ibu-ibu. Usia mereka
berkisar antara 61-120 tahun.
Panti Werdha Hargo Dedali ini berlokasi tepat di
belakang Perpustakaan Daerah Jawa Timur (Perpusda Surabaya) dan
berdekatan dengan pintu masuk Kampus Stiesia Surabaya. Waktu pertama kali aku
survey kesana dengan temanku, Bayu, kesan pertama yang aku rasakan adalah
tempatnya sungguh tenang. Tidak bising suara kendaraan bermotor dan juga tidak
padat rumah-rumah. Bangunan panti berupa rumah yang lapang dengan ventilasi
udara yang sangat memadai. Ruang resepsionis sangat lapang. Ruangan ini juga
digunakan untuk tempatnya acara (seperti pada foto diatas). Panti ini dihuni
sekitar 51 ibu-ibu lansia dan 20 pengurus remaja. Satu kamar dihuni oleh 3
ibu-ibu dengan ranjang terpisah. Lokasi kamar melingkar mengelilingi taman
kecil yang berada tepat di belakang ruang utama (ruang acara). Disekeliling
taman ada jalan setapak, dan jalan setapak itu dikelilingi pegangan untuk
membantu ibu-ibu berjalan (sebagian dari mereka tidak mampu berjalan sendiri
tanpa pegangan).
Sejujurnya, ini pertama kali kunjunganku (dan
beberapa teman) ke panti werdha. Jadi kami sedikit canggung membawakan acara.
Ternyata ibu-ibu ini suka sekali bernyanyi dan ada diantara mereka yang dapat
menyanyikan lagu dalam bahasa asing, seperti mandarin. Untungnya ada teman yang
membawa gitar jadi kita bisa bernyanyi bersama. Aku melihat ada seorang ibu-ibu
yang menangis saat seorang teman mempersembahkan lagu yang berjudul Berita
kepada Kawan yang dinyanyikan oleh penyanyi legendaris Indonesia, Ebiet. Hehe
jelas ajalah ya si ibu nangis orang liriknya aja sedih begitu. Mungkin mereka
ingat perjuangan mereka dahulu, ingat keluarga mereka.
Saat acara bercerita, kami meminta salah seorang
ibu untuk menceritakan kisah mereka dahulu. Ada seorang ibu yang ingin sekali
bercerita, tapi sayangnya mic yang disediakan tidak dapat menjangkau ibu
tersebut. Ibu ini, kakinya sakit jadi sulit untuk berjalan ke depan tempat mic.
Akhirnya digantikan oleh ibu-ibu yang lain. Mereka berasal dari berbagai macam
background yang berbeda-beda. Ada yang dulunya seorang guru, bidan, bahkan
pejuang kemerdekaan.
Seusai acara ditutup dengan kata terima kasih,
ibu-ibu kembali ke kamarnya masing-masing. Aku memperhatikan mereka satu per
satu berdiri. Beberapa ada yang susah untuk berdiri, dan untungnya ibu yang
disebelah mereka mau membantu. Terlihat sekali mereka saling tolong menolong.
Mungkin ini yang membuat mereka betah tinggal disini. Kemudian pandanganku
berhenti kepada 3 orang ibu-ibu yang berusia 70 tahun. Aku menghampirinya dan
bertanya. Ternyata beliau tidak dapat berdiri karena kakinya memang tidak dapat
berjalan dengan baik. Beliau adalah ibu yang tadi ingin bercerita. Akhirnya aku
dan seorang teman, Mas Rici, mengantarnya sampai ke kemar. Beliau berjalan
perlahan dengan menyeret kaki. Miris sekali.
Beliau bercerita, kalau dulunya ia adalah
seorang pejuang kemerdekaan. Ia turut andil menyaksikan secara langsung
bagaimana proses perebutan kemerdekaan Indonesia. Aku sedikit penasaran mengapa
beliau ada disini. Setelah bertanya, ternyata anaknya merasa kesulitan merawat
ibunya. Kedua anaknya berkerja. Yang pertama di Sidoarjo dan yang satunya lagi
di Malang. Keduanya sudah berkeluarga. Aku pun bertanya sekali lagi dengan
sedikit hati-hati, apakah mereka masih sering mengunjungi beliau? Sang ibu
menjawab, hanya anaknya yang di Sidoarjo yang secara rutin mengunjunginya. Yang
di Malang sudah hampir tidak pernah datang. Hmm, sedih.
Disini aku belajar untuk lebih menghargai
orangtua. Seorang ibu khususnya. Aku sedikit sedih melihat mereka, walaupun
mereka mengatakan kalau mereka senang tinggal di panti karena banyak temannya
(yang seumuran dan senasib). Ada diantara mereka yang tidak ingin merepotkan
anaknya, maka dari itu dengan inisiatif sendiri mereka memutuskan untuk tinggal
di panti. Ada juga yang karena tidak punya keluarga akhirnya dibawa tetangga
untuk tinggal di panti. Dan, yang paling miris adalah ada anaknya yang memang
dengan sengaja menitipkan ibunya untuk tinggal dipanti dengan alasan sibuk,
mungkin.
Bagaimana bisa kamu menitipkan ibumu di tampat
asing? Jauh dari jangkauanmu dalam waktu lama. Tanpa tahu kabarnya setiap hari.
Beliau makan apa? Sedang apa? Dengan range kunjungan seminggu sekali.
Sebulan sekali. Beberapa bulan sekali. Atau bahkan kamu bisa lupa untuk
mengunjunginya dengan alasan sibuk. Memangnya dulu saat kamu masih kecil ibumu
pernah lupa untuk sekedar menemanimu?
Post a Comment
Post a Comment