Sesuai judul
bukunya, buku ini memang cocok sekali dibaca saat kamu sedang kehabisan tenaga.
Terkadang banyak orang yang tidak tahu harus berbuat apa saat berada kondisi
hatinya tidak baik. Mungkin ada beberapa yang membutuhkan teman bicara dan
mendapatkannya. Tetapi, tidak jarang juga seorang introvert memulihkan
tenaganya dengan berdiam sendirian. Mengembarakan pikiran menanyakan banyak
hal. Mengapa begini, mengapa begitu. Membaca buku ini bisa menjadi salah satu
alternatif.
Buku yang
ditulis oleh Mbak Munita Yeni ini berisi mengenai hal-hal yang sering kamu
pertanyakan. Tentang perilaku, awal muasal kebiasaan buruk yang tidak kamu sadari,
beberapa jenis kelainan mental, hingga tips merubah suasana hati.
Saran saya, kamu
bisa baca buku ini perlahan sambil menuliskan selembar catatan untuk diri
sendiri. Meski sebenarnya buku ini bisa kamu habiskan dalam semalam atau dua
malam karena bahasanya yang sangat sederhana. Oh ya, buku ini juga berisi
beberapa pertanyaan singkat tentang diri. Dengan menjawabnya akan membantu kamu
menganalisa diri.
Saya membaca
buku ini beberapa hari lalu saat saya sedang drop. Membacanya perlahan membuat setiap
kata-kata yang dituliskan meresap kedalam diri saya. Hal ini membuat saya
merasa dituntun untuk membuka pikiran jauh lebih lebar kedalam diri. Tidak ada
salahnya mengenal diri jauh lebih dalam. Barangkali dengan begitu hidupmu akan
terasa lebih mudah.
Hidup di planet lain
Pembahasan pertama
dimulai dengan kehidupan di ‘Planet Mars’. Hal yang sering kita lakukan saat
kenyataan tak sejalan dengan keinginan. Kata-kata ‘seandainya…’ menjadikan kita
lengah dan cenderung enggan untuk berusaha menjadikannya sebuah realita. Yap. Saya
juga pernah bahkan mungkin seringkali melakukannya tanpa sadar.
Kebiasaan yang
ternyata buruk tersebut membuat saya terjebak dalam kehidupan imajinasi yang
saya buat sendiri. Coba ingat-ingat, pernah tidak kamu mengandai-andaikan
sesuatu dan merasa senang karenanya. Begitu menikmati waktu yang berjalan dalam
kehidupan ‘Planet Mars’ tanpa sadar melewati batas waktu hadir dalam realita. Bahkan,
terkadang hal itu menjadi candu. Sudah ingat? Nah, candu kan?
Ibaratnya, kita
sedang bermain peran seperti anak kecil. Ingat kan dulu saat kita masih
kanak-kanak sering bermain peran menjadi profesi dambaan kita? dokter, polisi,
guru, dll. Bukannya dulu semasa kecil kita menikmatinya? Merasa puas hingga
ingin melakukannya terus menerus. Permainan itu mungkin baik untuk anak kecil,
tapi ternyata tidak baik untuk dibawa hingga kita beranjak dewasa.
Aku Ideal
Bab ini membahas
mengenai hal-hal yang tidak bisa kita terima mengenai diri kita sendiri secara
fisik dan kepribadian. Saya pernah mengalaminya. Membenci wajah saya yang bulat
karena banyaknya doktrin yang saya terima kalau cantik itu yang memiliki wajah
lonjong dan pipi tirus. Saat berfoto bersama teman pada akhirnya saya cenderung
untuk berada di paling belakang (agar wajah saya tidak nampak lebar).
Seiring berjalannya
waktu saya mulai bisa menerima wajah bulat saya. Saya berkaca cukup lama dan
memperhatikan tiap detil wajah saya. Mata beserta kantung matanya, hidung yang
tidak mancung, pipi tembam, alis yang terlampau tebal, bibir, bahkan gigi. Saat
itu saya berpikir, kalo hidung saya mancung mungkin bentuk wajah saya akan
terlihat aneh. Nggak matching deh sama pipi saya, kata saya waktu itu. Atau, kalau
hidung saya mancung saya nggak akan dianggap anak oleh orang tua saya haha. Menertawakan
diri sendiri terkadang melegakan. Toh hidup tidak akan selalu sempurna.
Oh iya, selain
wajah bulat saya sempat membenci tubuh saya yang tinggi. Ya, tinggi saya diatas
rata-rata perempuan indonesia kebanyakan. Saya sempat heran mengapa banyak
orang yang ingin tinggi. Padahal hal itu kadang atau bahkan seringkali menyebalkan.
Dari TK saya
sudah tinggi. Paling tinggi diantara teman-teman sekelas saya. Saya sampai
sempat berpikir, kayaknya saya nggak pernah kecil imut-imut deh haha. Tinggi itu
nggak enak. Kalau beli pakaian rasanya selalu aja cingkrang. Padahal banyak
banget brand lokal yang lucu-lucu. Sepatu, sandal, celana, blus, dll. Jahit sendiri?
Butuh kain lebih banyak haha.
Selain fisik, saya
juga sempat mempertayakan keadaan diri, kenapa ya saya nggak bisa ngobrol semudah
mereka yang supel? Yap. Pertanyaan sejenis itu dulu seringkali menghantui saya.
Bahkan sempat membuat saya tidak nyaman karena terlalu memikirkannya. Saya ingin
menjadi supel, kata saya saat itu. Perlahan saya tahu kalau memang tidak semua
orang mudah berkomunikasi. Kebetulan, saya kebagian seorang introvert yang
hanya bisa megawali pembicaraan. Kurang bisa membawa obrolan selalu
menyenangkan. Itu mah kayaknya jobdesk si extrovert haha. Tenang, udah ada
bagiannya sendiri-sendiri kok 😊
Siapa yang lebih salah
Memiliki rasa
bersalah juga ternyata tidak baik. Hal ini membuat kita menjadi semakin lelah. Misalnya
saja, karena saya satu-satunya anak perempuan di keluarga, maka saya harus
bangun pagi dan membantu ibu membereskan rumah. Kakak dan adik saya, karena
mereka laki-laki mereka tidak perlu melakuakn pekerjaan rumah seperti menyapu,
mengepel, mencuci piring, bahkan mencuci pakaian.
Nah, perasaan
bersalah semacam itu ternyata berkembang tanpa sadar. Perasaan saya menjadi
tidak enak dan merasa bersalah kepada seisi rumah saat saya bangun kesiangan
dan harus segera pergi bekerja tanpa membereskan rumah. Sepulangnya, saya pun
menebus dosa dengan mebereskan rumah. Padahal seharusnya saya beristirahat.
Seiring berjalannya
waktu saya merubah perasaan bersalah tersebut menjadi hal yang lebih
menyenangkan. Saya melakukan pekerjaan rumah bukan karena saya satu-satunya
perempuan di rumah. Melainkan dengan melakukan pekerjaan rumah saya bisa sambil
melakukan relaksasi diri. Perasaan yang awalnya berat karena menganggapnya
beban, kini menjadi ringan. Karena menurut saya tidak mudah merubah orang lain.
Ya, jadi saya merubah diri saya sendiri saja.
Selain perasaan
bersalah, saya juga pernah menyalahkan orang tua mengenai jurusan kuliah. Saya kuliah
di jurusan yang dipilihkan oleh orang tua saya. Bisa dibilang kuliah salah
jurusan. Saya nggak pernah ada passion di jurusan tersebut. Tapi, pada akhirnya
saya merubah pikiran saya. Kuliah bukan meulu soal mata kuliah. Saya banyak
belajar di tempat saya kuliah. Mengenai kegagalan dan kepribadian. Hal ini
membuat saya lebih bisa menerima keadaan. Karena tidak akan ada gunanya
menyalahkan keputusan masa lalu. Beban tersebut pun perlahan menghilang.
Nyatanya perasaan
saya menjadi lebih ringan saat saya dapat menemukan benang hitam dari setiap
permasalahan saya. Hal-hal yang pada awalnya menumpuk di hati kini telah lapang.
Kereeen Mbaak 💗💗
ReplyDeleteMari saling follow 😊
kok aku gabisa follow kamu sih :'
Deletedari review nya,, pengen cepet baca deehh,,
ReplyDeletesempet baca sinopsis nya, cuman ragu buat ngebeli,
makasih ba, review nya
selamat membaca :)
DeleteIni termasuk buku yang mau aku baca juga, apalagi lagi masa pandemi gini kak, butuh asupan buku yang membangkitkan semangat.
ReplyDeleteTerima kasih kak buat reviewnya! :')
bener banget. mood yang ups and down bikin hari-hari malah kerasa lebih berat kalo gada penawarnya eheh. semangat yaaa!!!
DeleteKeren... Bisa jadi rekomendasi bacaan saat luang.
ReplyDelete