Travel

FOLLOW US @ INSTAGRAM

Blogger Perempuan
Intellifluence Trusted Blogger

Banner Bloggercrony

Curhatan Seorang Anak Perempuan dalam Keluarga Patriarki

Post a Comment
kesehatan mental
“Oh, ternyata nggak semua hal bisa aku lakuin. Kenapa aku jadi sok-sokan ngambil tanggung jawab orang lain?”
Setahun lalu, saya baru mengetahui kalau nggak semua hal bisa saya lakukan sendiri. Bahkan, saya baru menyadari kalau hal yang selama ini saya lakukan bukanlah tanggung jawab saya.

Kalau ditanya siapa yang salah, saya mengakuinya karena sudah sok-sokan menjadikan tanggung jawab orang lain menjadi tanggung jawab saya. Yang berujung membebankan saya sendiri. Meski, kalau dipikir-pikir, niat saya sebenarnya baik. Tapi, nyatanya hal itu di luar kapasitas saya sebagai seorang anak.

Genggaman yang Terlalu Erat

kesehatan mental
Lagi-lagi, keluarga menjadi salah satu penyebab kebanyakan orang nggak baik-baik saja. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang, justru menjadi tempat berjuang tiada akhir yang terasa melelahkan bagi sebagian orang, termasuk saya.

Menjadi satu-satunya anak perempuan dalam keluarga yang kental akan budaya patriarki, menjadi kombinasi buruk dengan kondisi keluarga tanpa adanya sosok ayah. Memiliki adik yang saat ini duduk di kelas 6 SD, membuat saya mau nggak mau berperan ganda.

Pekerjaan rumah yang terlihat sepele, sayangnya menjadi masalah yang serius untuk saya. Kalau kamu sudah membaca novel ‘Home Sweet Loan’ karya Almira Bastari, kondisi saya sedikit mirip dengan Kaluna.
Sebagai anak perempuan, pekerjaan rumah seolah menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya tanpa perlu diberi tahu dan dibicarakan. 
Pada awalnya saya merasa nggak masalah dengan hal itu karena di sisi lain saya suka dengan kondisi rumah yang rapi dan bersih.

Sayangnya lambat laun, saya merasa terbebani karena anggota keluarga menjadi semena-mena, terutama adik laki-laki saya yang berusia 20an. Bahkan untuk urusan sepele seperti membeli galon, adik laki-laki saya nggak bisa dimintai tolong.

Belum lagi, ibu yang tidak tegas selalu menjadikan saya ujung tombak saat adik kecil saya tidak mau menuruti kata-kata beliau. Peran ini mau nggak mau menjadikan saya sosok yang jahat di mata adik saya karena selalu mengomelinya.

Kedua kondisi ini semakin lama membuat saya lelah hingga memutuskan untuk diam sejenak. Tidak memiliki support system menjadikan keadaan saya semakin buruk. Yang sebelumnya saya kira saya sudah mengenal diri saya sendiri, nyatanya saya belum memahami diri saya sepenuhnya. Terutama perihal merelakan.
Setelah merenung, pada akhirnya saya menyadari bahwa saya terlalu menggenggam erat banyak hal. Kekhawatiran akan keadaan yang tidak berjalan semestinya, seringkali membuat saya bereaksi berlebihan. Hingga berlagak bertanggung jawab atas sesuatu yang bukan seharusnya.

Apa yang Saya Rasakan?

Banyak emosi yang saya rasakan pada saat merenung. Marah, sedih, kecewa, dan tertekan. Terkadang saya menyalahkan diri sendiri, terkadang juga menyalahkan orang lain serta keadaan. Intinya, saya kebingungan dengan perasaan saya.

Sayangnya, ibu saya nggak begitu paham dengan pentingnya kesehatan mental. Dialog dari hati ke hati menanyakan kondisi mental menjadi hal yang tabu dalam keluarga. Ibu yang melihat saya diam dan lesu hanya berpikir kalau saya hanya sedang malas.

Mengambil Jeda Sejenak untuk Bernapas

Keputusan saya untuk diam, bisa dibilang menjadi klimaks dari tumpukan rasa lelah yang tidak pernah didengarkan. Sebelumnya saya sudah berusaha menyampikan protes dengan cara yang baik. Tetapi, ibu memilih tidak memedulikan hal itu dan menganggap saya yang terlalu sensitif.

Merenung menjadi momen saya untuk mengambil jeda sejenak untuk bernapas. Merefleksikan diri mengapa saya merasa lelah luar biasa. Saya pun menyadari bahwa kesehatan mental saya sedang tidak baik-baik saja.

Saat saya mendapatkan jawaban bahwa saya terlalu erat dalam menggenggam karena dihantui beragam kekhawatiran, pada saat itulah saya belajar untuk merelakan hal-hal di luar kendali saya dan berdamai dengan keadaan. Menerima bahwa nggak semua hal bisa saya genggam erat.

Dari pengalaman ini, saya pada akhirnya menyadari betapa pentingnya mengenal diri sendiri. Memahami batasan kemampuan atau kapasitas dalam setiap hal. Bukan berarti kita membatasi diri, melainkan menerima keadaan diri yang tidak sempurna dan tidak ideal.
Karena terkadang kita terlalu terjebak dalam kata-kata idealnya.
Melalui tulisan ini, saya berharap kamu bisa lebih peduli dengan kesehatan mentalmu. Kita tidak bisa mengubah orang lain. Tetapi, kita bisa mengubah cara pandang kita terhadap orang lain. 

Kamu juga bisa berbagi ceritamu mengenai kesehatan mental dengan mengikuti #DearSenjaBlogCompetition. Saya yakin setiap dari kita memiliki cerita yang tidak sanggup kita ceritakan. Tetapi, dengan menuliskannya kita bisa berbagi dan membuat hati jadi lebih lega. 

Yuk, lebih kenali diri dan jaga kesehatan mental kita!
deamerina
Hai! Selamat datang di blog saya. Silahkan menyelami kegiatan yang saya lakuakn. Saya menulis berbagai macam hal seperti review film, buku, skincare, cerita jalan-jalan, dan penalaman pribadi.

Related Posts

Post a Comment