“Saya sempat berpikir, mungkin ini isyarat dari semesta untuk berhenti,” kata Baltasar Klau Nahak saat banjir melanda dan merendam seribu koleksi buku di perpustakaannya (Perpusling Agape) setelah kedua temannya memilih untuk mundur.
Katanya, buku adalah jendela dunia. Tapi sayangnya, jendela itu tertutup rapat untuk anak-anak di Papua Barat Daya. Dan di sinilah Kak Ball berusaha untuk membuka jendela itu perlahan agar mereka mampu menjaga alam tempat mereka tinggal. Melalui buku, Kak Ball memperkenalkan cerita, cita-cita, dan harapan.
Ironi di Balik Keindahan Papua
Papua dijuluki “Surga Tersembunyi” karena keindahan alamnya yang luar biasa. Namun, siapa sangka di kampung-kampung terpencil Papua Barat Daya, anak-anak menghadapi dua realita yang seolah berseberangan.
Di satu sisi, alam Papua menyuguhkan hutan hijau yang rimbun, sungai jernih, dan keanekaragaman kehidupan yang menakjubkan yang sanggup menarik wisatawan mancanegara. Sedangkan di sisi lain, literasi menjadi sebuah kemewahan. Jangankan perpustakaan, di sana buku sulit dijangkau dan akses pendidikan masih minim.
Di balik keindahan alamnya, Papua memiliki kondisi geografis yang cukup menantang. Berbeda dengan Pulau Jawa yang memiliki infrastruktur memadai, di Papua ada banyak pegunungan, rute perahu, dan desa-desa yang tersebar. Inilah yang membuat akses pendidikan menjadi sulit.
Tanpa adanya akses bacaan, anak-anak kesulitan mengeksplorasi dunia lebih luas. Sementara pemahaman mereka soal pentingnya alam sebagai tempat tinggal dan warisan hidup sangat rentan. Literasi dan kesadaran lingkungan pun belum berjalan beriringan, padahal kedua hal ini saling berkaitan untuk masa depan mereka.
Melihat kondisi inilah yang membuat Kak Ball terusik dan memutuskan untuk bertindak.
“Awalnya bukan karena terpanggil, tapi merasa terusik. Aku tumbuh dan menyukai hal-hal yang berbau alam. Tapi, aku menyadari, makin ke sini, kerusakan alam makin terlihat jelas. Tapi banyak yang biasa aja melihatnya,” kata Kak Ball di salah satu sesi wawancaranya.
Lahirnya Perpustakaan Keliling Agape
Suatu hari, dalam salah satu kunjungannya ke sebuah kampung, Kak Ball menyaksikan pemandangan yang membuatnya terdiam.
Anak-anak berkumpul dengan penuh antusias, saling berebut melihat satu-dua lembar bacaan. Seolah mereka sedang menemukan harta karun. Mereka tampak bersemangat mendengarkan cerita dan hal yang belum mereka ketahui sebelumnya. Sayangnya, semangat mereka tak sebanding dengan banyaknya buku yang tersedia di kampung itu.
Saat itulah, sebuah ingatan muncul di kepala Kak Ball. Tumpukan buku cerita yang selama ini hanya tersimpan di rak kamarnya. Momen kecil inilah yang menjadi titik balik. Kak Ball pun bergegas pulang dan mengumpulkan buku-buku yang ada di rumahnya.
Sejak hari itu, setiap kali kembali ke kampung tersebut, Kak Ball menyeret tas berisi buku cerita. Ia duduk bersama anak-anak, membacakan kisah demi kisah, melihat mata mereka berbinar, dan menyadari bahwa yang ia lakukan, meski tampak kecil, membawa pengaruh yang nyata.
Dari rutinitas sederhana itu, lahir sebuah gagasan yang lebih besar. Ia ingin tidak hanya dirinya yang bergerak, tetapi juga anak-anak muda lain supaya mereka pun dapat menjadi jembatan perubahan bagi kampung-kampung terpencil.
Dari semangat itulah, Perpustakaan Keliling Agape berdiri pada 5 November 2020. Bukan sekadar sebagai perpustakaan berjalan, tetapi sebagai gerakan kasih, harapan, dan masa depan bagi anak-anak Papua.
"Ketika saya diizinkan Tuhan untuk menginjakkan kaki di suatu tempat, maka di situlah Tuhan Pakai Saya untuk melayani."
Filosofi Agape menurut Kak Ball adalah bahwa alam adalah guru utama, dan buku adalah sarana untuk mengenali alam tersebut. Kak Ball memutuskan untuk menyusuri kampung-kampung membawa rak buku sederhana ke tempat-tempat yang selama ini sulit diakses.
Teman Memilih Mundur dan Buku Terendam Banjir
Perjuangan Kak Ball memperjuangkan Perpustakaan Keliling Agape ini cukup berliku. Kampung-kampung yang harus ia datangi berada di lokasi terpencil, dijangkau lewat rute perahu atau jalan tak beraspal. Mengangkut buku ke sana bukanlah pekerjaan yang mudha. Buku harus dibawa dan dijaga supaya tidak rusak.
Setelah berjuang bertiga selama satu tahun, kedua teman Kak Ball memilih untuk mundur. Meski seorang diri, Kak Ball tetap semangat bertemu dan bercerita dengan anak-anak. Namun, sayangnya Perpusling Agape menghadapi musibah banjir yang merendam sebagian koleksi buku. Beberapa buku basah, hilang, bahkan tak lagi layak baca.
Di titik ini Kak Ball mulai mempertanyakan, “Mungkin ini isyarat dari semesta untuk saya berhenti.”
Namun, semangat Ka Ball tetap teguh. Ia pun membagikan ceritanya di media sosial. Dan tanpa disangka banyak pihak yang memberikan dukungan. Kak Ball bersama relawan dan masyarakat kampung membangun kembali perpustakaannya menata ulang sistem penyimpanan dan memperbaiki rak.
Di tengah semua itu, Kak Ball dan relawan menyelenggarakan kelas literasi rutin, menyusun program Ecoliteracy Camp, mengorganisir Aksi Muda Jaga Iklim (AMJI), hingga menjaga agar gerakan Perpusling Agape tumbuh menjadi bagian dari budaya di komunitas lokal.
Bagi Ka Ball, tantangan-tantangan ini bukan hambatan untuk menyerah, melainkan ujian yang menguatkan komitmennya. Ia percaya eco-literacy, literasi yang berpadu dengan kesadaran lingkungan, adalah jalan panjang tapi paling berharga untuk menciptakan masa depan yang lebih baik untuk generasi muda.
Misi Kak Ball Menyatukan Pendidikan dan Lingkungan
Melalui Kelas Literasi Rutin, Kak Ball dan relawan mengajak anak-anak membaca, bercerita, menulis, dan bermimpi. Bagi KaK Ball tahu literasi tidak hanya berhenti pada buku, tetapi juga memiliki kepedualian pada lingkungan.
Semangat itu diwujudkan dalam Literasi Lestari, program yang menghubungkan buku dengan sebuah aksi nyata. Seusai membaca mengenai alam, anak-anak dan masyarakat sekitar bersama para volunteer akan membersihkan kampung, menanam pohon, membuat ecobrick dari sampah plastik, hingga belajar membuat pupuk organik.
Untuk memastikan buku selalu dekat dengan masyarakat, Kak Ball membuka Lapak Baca Gratis di berbagai ruang publik dan mengadakan Book Party, yaitu perayaan membaca yang diiringi dengan musi.
Dari perjalanan ke kampung-kampung itu, saat ini Perpusling Agape telah menjangkau lebih dari 30 kampung di Papua Barat Daya. Dan memiliki desa binaan 8 kampung di Kabupaten Sorong Selatan: Boldon, Seribau, Srer, Kokoda, Kais, Klaogin, Wersar, dan Terminabuan.
Di setiap tempat yang disinggahi, selalu lahir relawan lokal. Hal ini merupaka tanda bahwa Kak Ball tidak hanya membawa buku, tetapi juga menumbuhkan semangat perubahan.
Perubahan Komunitas Kampung
Berkat Perpustakaan Keliling Agape, puluhan kampung di Sorong Selatan kini memiliki akses bacaan yang sebelumnya mustahil. Anak-anak yang dulu tidak punya buku kini bisa membaca, bercerita, menulis, bahkan bermimpi.
Lebih dari itu, kesadaran ekologis di komunitas tumbuh. Aksi menanam pohon, bersih-bersih sungai, dan kampanye sampah menjadi bagian dari rutinitas lokal. Beberapa peserta program Kak Ball bahkan menjadi relawan literasi, mengajak teman-teman dan keluarganya untuk terlibat dalam gerakan eco-literacy.
Perubahan ini tidak hanya menguatkan pemahaman tentang lingkungan, tetapi juga membentuk karakter pada anak-anak dan warga kampung yang merasa bahwa alam mereka adalah aset yang harus dijaga, bukan hanya sumber daya yang bisa dieksploitasi.
Mendapatkan Apresiasi Astra
Perjuangan Kak Ball pada akhirnya berbuah manis. Astra melalui program SATU Indonesia Awards, mengapresiasi kontribusinya di bidang pendidikan dan lingkungan. Penghargaan ini bukan hanya simbol. Ia adalah bukti nyata bahwa literasi dan aksi ekologi sangat penting untuk masa depan berkelanjutan. Terlebih di saat global warming seperti sekarang.
Astra, sebagai korporasi besar dengan visi ESG, melalui apresiasinya menunjukkan bahwa mereka mendukung inovator muda yang menggerakkan perubahan sosial-ekologis dari lapisan masyarakat paling dasar. Dukungan ini bisa memperkuat impact Agape dan memberi inspirasi bahwa setiap inisiatif kecil di pelosok negeri bisa mendapat perhatian nasional.
Perpusling Agape dan Masa Depan Anak-Anak Papua
Baltasar Klau Nahak mengajarkan kita bahwa literasi bukan hanya soal membaca, tetapi juga soal menghubungkan manusia dengan alam. Lewat Perpustakaan Keliling Agape, kak Ball dan para relawa membawa buku ke kampung terpencil, menumbuhkan kesadaran ekologi pada generasi muda, dan membangun komunitas yang peduli dengan masa depan lingkungan mereka.
Perjalanan penuh tantangan yang mereka alami, seperti medan sulit, banjir, logistik, tidak menghentikan semangat. Sebaliknya, rintangan itu menjadi bahan bakar untuk terus bergerak. Peran Kak Ball sebagai telah menjembatani dunia literasi dan aksi nyata untuk menciptakan dampak sosial-ekologis yang nyata dan berkelanjutan.
Penghargaan dari Astra melalui SATU Indonesia Awards adalah bukti bahwa gerakan seperti Agape layak diakui, dirayakan, dan didukung.
Sebagai pembaca buku, melihat perjuangan Kak Ball membuat saya tersadar kalau ada aksi selanjutnya yang harus dilakukan setelah menyelesaikan sebuah buku. Yaitu mengaplikasikan apa yang kita tahu atau baca pada sekitar. Karena bacaan yang hanya berhenti di kepala akan terasa percuma karena tidak mengubah keadaan.
Dan saya setuju dengan keputusan Kak Ball untuk mengajak generasi muda untuk Satukan gerak, agar terus berdampak yang lebih besar.
Semoga, semangat Kak Ball juga bisa kita terapkan di kehidupan sehari-hari.














Post a Comment