Begitu memasuki gedung mall, saya dan ibu bertanya kepada satpam letak ‘Cafe Mongki’. Maklum, saya dan ibu memang bukan tipikal orang yang doyan jalan-jalan ke mall. Kami hanya ke mall kalau ada barang yang memang perlu dibeli. Kalau pun memungkinkan untuk nggak masuk mall, kami akan beli di tempat lain. Sebab, kami terlalu malas untuk berjalan.
Kami berjalan lurus dan menaiki eskalator menuju lantai 2. Sesampainya di lantai 2, kami berjalan ke kanan dan menemukan kedai kopi yang kami cari. Cafe Mongki cukup padat hari ini. Ah, iya ini kan hari Sabtu, pantas saja mall begitu ramai.
“Assalamualaikum, eh sorry ya telat. Tadi ada tamu di rumah,” sapa ibu kepada teman-teman semasa sekolahnya yang disambut riuh. Sebenarnya saya cukup malas ikut ibu reuni teman semasa sekolahnya. Tapi, saya juga nggak tahu mau ngapain di akhir pekan begini. Jadilah saya terdampar di kafe ini.
“Lho, Rasya,” kata seseorang yang membuat saya menoleh.
“Eh, Damar,” saya cukup terkejut melihat Damar berada di antara teman-teman lama ibu.
“Kamu kenal sama anaknya Bu Sarah, Mar,” tanya seorang lelaki di sebelahnya.
“Ini temen sekolah aku, Pa”
“Wah, kok bisa kebetulan banget,” kata Om Dino yang ternyata adalah ayah Damar. “Sini, duduk di sebelah Damar, Sya” kata Om Dino berdiri dan menarik kursi di samping Damar untuk saya duduk.
Saya pun duduk di sebelah Damar. Beruntung ada Damar yang bisa saya ajak ngobrol. Meski nggak begitu dekat, kami memiliki hobi yang sama. Jadi, nggak begitu susah untuk memulai obrolan dengannya.
“Sya, boleh nanya nggak?” tanya Damar tiba-tiba saat kami sudah berpindah tempat. Para orangtua kami sedang berbelanja untuk kado pernikahan anak seorang teman. Saya dan Damar mengikuti mereka di belakang sambil berbincang.
“Apa?”
“Kamu keberatan nggak kalo ibumu nikah lagi?” pertanyaan Damar yang sontak membuat saya terkejut. Di kondisi seperti ini sebenarnya nggak hanya Damar yang bertanya demikian. Ada beberapa orang yang menanayakan hal serupa yang selalu saya jawab dengan jawaban yang sama pula.
Sudah 7 tahun orangtua saya berpisah. Meski sempat ada lelaki yang dekat dengan ibu, tetapi hubungan mereka sepertinya nggak berjalan lancar. Sebenarnya saya sendiri pun nggak keberatan dengan kehadiran orang baru. Karena saya paham ibu tentu membutuhkan pendamping untuk menemaninya di saat nggak menyenangkan dan menyenangkan. Menikmati setiap momen dalam hidup.
Nggak semua hal bisa ibu bagikan dengan teman dekatnya, saudaranya, atau bahkan saya. Saya juga nggak mau egois dan mengorbankan perasaan ibu. Saya menjelaskan semuanya kepada Damar. Kami memiliki posisi yang sama. Jadi, mungkin ia akan memahami maksud saya. Orangtuanya juga berpisah dan ia kini tinggal dengan ayahnya. Bukan berarti Damar nggak sayang kepada ibunya. Ia justru sangat menyanyangi ibunya lebih dari apa pun. Ia membagi waktu untuk ke duanya dengan adil.
“Oh, gitu. Aku paham, Sya. hmm, kalo Papaku nikah sama ibumu gimana?”
“HA?!” saya terkejut bukan main. Ini hal yang nggak pernah saya pikir dan bahkan bayangkan sebelumnya. Menjadi saudara salah satu teman sekolah karena pernikahan orangtua kami? Saya kira ini semua hanya ada dalam cerita sinetron di tv.
Sejujurnya, saya pun nggak begitu mengenal Om Dino. ini juga baru pertama kalinya saya bertemu dengannya. Kalau ditanya masalah ini, tentu saya akan menyerahkan semuanya pada ibu. Karena ibu yang akan menjalaninya. Kalau ibu memang merasa bahagia, saya pun nggak akan keberatan.
“Tapi, Sya. Aku suka sama kamu,” untuk kedua kalinya Damar membuat saya melonggo. Kami berdua telah terpisah dari orangtua kami yang entah sudah berada di toko yang mana. Saking terkejutnya mendengar pengakuan Damar saya seperti orang linglung yang baru saja dihipnotis.
Berbeda dengan yang sebelumnya, untuk ucapan ini sebenarnya saya pernah membayangkannya Damar berkata demikian. Tentu hanya dalam imajinasi saya. Siapa sih yang nggak jatuh hati dengan Damar? Lelaki yang sangat menghargai wanita. Memperlakukan wanita dengan sangat istimewa. Ia juga seorang pendengar yang baik. Penuh perhatian bahkan ke hal terkecil sekali pun. Kepekaannya selalu membuat wanita salah tingkah. Saya salah satunya.
Tetapi, saya sudah mengubur perasaan itu begitu lama. Bertemu dengannya di usia 25 tahun ini setelah lama nggak bertemu, membuat hati saya berbunga. Entah mengapa saya merasa bukan seseorang yang cocok untuknya saat itu. Saya pun terkejut dengan hal yang disampaikan Damar.
Padahal, Damar bisa dikatakan sebagai cinta pertama saya saat duduk di sekolah dasar. Lucu ya. Semasa sekolah kami saling menyukai. Begitu bertemu lagi di usia 25 tahun, perasaan itu ternyata muncul kembali. Tapi, bagaimana dengan keadaan ini? Saya dan ibu menyukai ayah dan anak.
Saya nggak mengerti jawaban apa yang harus saya katakan pada Damar. Ia memandang saya dengan pandangan yang sama bingungnya dengan saya. Haruskah saya mengatakan kalau saya juga menyukainya? Tapi, bagaimana dengan orangtua kami? Saya nggak mungkin mengorbankan perasaan ibu hanya karena saya menyukai Damar.
Meski saya menyukainya, saya toh belum yakin apakah hati kami akan bisa saling mengisi hingga ke jenjang yang lebih serius. Berbeda dengan orangtua kami yang tentunya sudah serius. Setelah saya sadar, saya berjalan meninggalkan Damar.
Sejak hari itu Damar nggak berhenti menghubungi saya. Semua chat dan telepon darinya nggak ada yang saya balas satu pun. Saya masih menimbang jawaban apa yang harus saya berikan.
“Sya, hari ini kita makan malam sama Om Dino dan Damar ya. Kamu siap-siap. Nanti jam 6 habis salat maghrib kita berangkat,” kata ibu duduk di samping ranjang saya.
“Ibu sama Om Dino serius?” saya pada akhirnya nggak tahan lagi untuk nggak bertanya.
“Kamu suka nggak sama Om Dino? Om DIno itu orangnya baik banget, Sya. Perhatian pula sama ibu. Dia menghargai perempuan banget. Dulu sewaktu sekolah Om DIno memang pernah bilang suka sama ibu. Tapi, ibu tolak karena nggak mau pacaran. Kamu kan tahu nenekmu gimana kalau ke anak-anak perempuannya,” ibu pun mulai menceritakan semuanya mengenai Om DIno dengan pancaran mata yang berbeda. Sorot mata yang sudah lama nggak saya lihat. Bagaimana bisa saya dan ibu memiliki cerita yang hampir sama begini ya?
Saya nggak tega kalau saya harus membuat ibu patah hati. Tapi, saya juga memiliki perasaan. Sejak Damar menyatakan perasaannya, saya nggak bisa bohong kalau begitu senang mendengarnya. Seakan semua penantian saya berujung indah. Bolehkah saya egois untuk kali ini saja?
Malam ini Damar tampak begitu rupawan. Sama seperti Om Dino yang terlihat masih segar di usianya yang mengingak 55 tahun. Om Dino dan Damar bangkit dari kursinya begitu melihat saya dan ibu memasuki restoran. Om Dino menarik kursi di sebelahnya untuk ibu, sedangkan Damar menarik kursi untuk saya. Sungguh ayah dan anak yang sangat gentle.
“Sya, aku..”
"Mar, aku juga suka sama kamu,” kata saya segera memotong ucapan Damar. Kami sudah berada di taman belakang restoran. Meninggalkan ibu dan Om Dino di dalam yang masih mengobrol.
Kini, giliran Damar yang terkejut mendengar ucapan saya. Saya pun mulai menceritakan awal pertemuan kami tahun lalu. Hingga momen saat saya merasakan kembali perasaan yang pernah ada untuknya semasa sekolah. Berkat media sosial, kami dapat bertemu kembali. Ya, saya telah membulatkan tekat untuk egois kali ini. Maafkan saya, Bu.
4 comments
iyaa rencananya bakal ada kok hhe. moga bs nyelesaiin ini sampe kelaar
Post a Comment