Judul : Cinta Suci Zahrana
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit : Republika
Tahun terbit : 2017
Genre : Fiksi - Romance
Halaman : 257 halaman
Toko : Republika Official Store
Spoiler alert!
Setelah membaca novel Pudarnya Pesona Cleopatra (klik untuk baca reviewnya), saya jadi pengen baca buku Kang Abik yang lainnya. Nah, novel ini saya temukan di perpustakaan daerah.
Novel Habiburrahman El Shirazy yang satu ini, Cinta Suci Zahrana, ternyata ada filmnya juga. Saya berencana nonton filmnya setelah baca bukunya terlebih dulu biar nggak buyar imajinasi saya hehe 😆
And, here we go, review novel Cinta Suci Zahrana~
Sedikit Tentang Novel Ini
Zahrana, dosen salah satu kampus swasta terbaik di Semarang yang memiliki segudang prestasi. Sangat ambisius dengan prestasi akademik membuat Zahrana yang akrab dipanggil Rana meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional.
Di usianya yang sudah tidak muda, 34 tahun, Rana menjalani hidupnya dengan penuh perhitungan. Saking gemarnya dengan belajar, Rana hingga beberapa kali diingatkan oleh orangtuanya untuk segera menikah.
Sebenarnya sudah banyak lelaki yang datang melamar, tetapi selalu ditolaknya karena ia menganggap menikah akan menghambat kegiatannya untuk mencari ilmu. Ia bahkan berencana mengambil S3.
Hingga suatu ketika ayahnya sakit dan ibunya menginggatkan untuk membahagiakan ayahnya. Menyegerakannya untuk menikah.
Wanita yang Berambisi
Saya kagum dengan sosok Rana yang memiliki ambisi untuk dapat melanjutkan pendidikan hingga S3. Meski dalam beberapa hal, tampaknya ambisi ini membawa penyesalan dalam dirinya karena nggak juga kunjung menikah karena ingin membahagiakan orangtuanya.
Berprestasi, mengharumkan nama bangsa, dan menaikkan derajat keluarga. Apa yang dilakukannya sebenarnya juga untuk membagakan kedua orangtuanya. Tetapi, di usia 34 tahun membuat orangtuanya tak lagi mengharapkan berbagai penghargaan. Mereka hanya menginginkan Rana untuk segera menikah dan memberikan mereka cucu.
Menjadi seorang wanita, sepertinya membuat sedikit lebih sulit memiliki ambisi. Karena wanita selalu dihubungkan dengan organ reproduksi yang akan menyulitkan untuk rencana memiliki keturunan di usia yang tidak muda.
Nggak jarang label perawan tua dilekatkan begitu saja. Saya merasa sedikit tidak adil. Lalu, bagaimana dengan lelaki yang tak kunjung menikah? Mengapa hanya perempuan saja yang diberi label menyebalkan?
Dilema Menikah di Usia yang Tidak Muda
Usia 34 tahun bagi seorang wanita yang masih lajang, seolah menjadi aib tersendiri. Entahlah. Sekali lagi, bagi saya ini ngak adil.
Di novel ini diceritakan ketika Rana pada akhirnya memutuskan untuk menikah, ada beberapa pria yang datang melamar dengan berbagai latar belakang.
Mulai dari dekan cabul yang berusia 55 tahun, rekan sesama dosen yang ingin menjadikannya istri kedua, seorang penjual kerupuk lulusan SMA yang dijodohkan oleh Pak Kiai, hingga mahasiswanya sendiri.
Jodoh memang nggak akan ada yang tahu. Di usia tersebut, menyandang status lajang bagi wanita seolah membuat diri merasa rendah dan (amit-amit) asal menerima lamaran karena terburu karena seolah tak memiliki pilihan.
Yang paling menyebalkan adalah munculnya kata-kata, “Mumpung masih ada yang mau melamar”. Argh! Emangnya kita nggak berhak menentukan pilihan sendiri?
---
Baca juga: Review Novel 'Jakarta Sebelum Pagi'
---
Padahal, kita tentunya berharap mendapatkan pasangan yang terbaik demi memiliki kehidupan yang lebih baik. Mendukung bakat dan mengembangkannya ke arah yang lebih baik.
Berkali-kali Rana berdialog dalam diri,
“Apakah aku memang pantasnya mendapatkan penjual kerupuk?”
“Apakah orang yang pantas untukku adalah orang yang sudah tua dan tidak berakhlak? Apakah aku mampu hidup dengan orang yang bahkan mendengar namanya saja sudah membuatku jijik?”
“Apakah memang takdirku menjadi istri kedua?”
Jujur, membaca ini saya sedih banget. Mungkin, di luar sana banyak wanita yang memiliki dilema yang sama dengan Rana. Di usia yang nggak lagi muda, beberapa wanita menjadi rendah diri dan menangisi nasip atau keadaan yang terkesan nggak mendukung.
Saya sebal dengan semua paksaan. Baik dari orangtua dan teman baiknya sendiri (Wati). Orangtuanya hampir saya memaksa Rana menikah dengan dekan cabul karena iming-iming akan diberangkatkan haji setelah mereka menikah.
Sedangkan sahabatnya meminta Rana menerima lamaran dekan cabul karena status dan gelar hajinya. Wati juga meminta Rana bersabar siapa tahu Pak Karman sudah tobat. Haduh! Untung Rana punya Lina yang bisa diandalkan dan tetap berpikir jernih.
Sosok dekan cabul
Saya nggak habis pikir dengan orang modelan begini. Sudah berumur tapi maish juag bertingkah. Bahkan berani memanfaatkan status sosial yang dimilikinya untuk melamar Rana.
Saat Rana pada akhirnya menolak lamaran Pak Karman, dekan itu marah dan berencana memecat Rana. Wah, ini sangat kekanakan sih. Untung aja Rana pada akhirnya menolak. Eman banget si Rana kalau sampai menikah dengan Pak Karman.
Saya harap, di dunia nyata wanita tetap memiliki hak untuk memilih. Gimana pun juga, mereka yang akan menjalani hidupnya. Orang-orang yang memaksa si wanita untuk menikah nggak akan bertanggung jawab merasakan pernikahan yang mereka paksakan.
The ending.....
Saya suka banget dengan endingnya yang unpredictable. Dengan semua lika-liku yang sudah dialami oleh Rana, ia berhak mendapatkan yang terbaik. Setelah semua tragedi akhirnya ia bahagia dengan pilihannya. Mendapatkan suami yang mendukung studinya hingga S3.
Ending seperti ini yang saya harapkan bisa terjadi pada semua wanita. Semoga mereka tetap bisa memilih tanpa tergesa. Menikahi orang yang tepat dan mampu membuat mereka menjadi wanita yang lebih baik.
Over all, saya suka dengan cerita ini. Ke khawatiran saya yang juga masih single di usia 27 ini membuat saya bisa sedikit merasakan perasaan Rana. Saya tahu usia ini masih muda dan saya masih memiliki banyak waktu.
Menurut saya pribadi pernikahan adalah hal yang sakral, suci. Nggak bisa dijalani dengan sembarang orang. Saya tentu menginginkan seseorang yang terbaik. Yang bisa sama-sama diajak untuk bertumbuh dan berkembang.
Setelah kakak saya menikah 2 tahun lalu, banyak keluarga besar menanyakan kapan saya akan segera menikah. Awalnya saya sempat merasa risih ditanya-tanya seperti itu, tapi makin ke sini saya biasa aja hehe. Seriusan!
---
Baca juga: Review Novel 'Tempurung', Kisah Perempuan dengan Tubuhnya
---
Buat saya, menikah atau tidak saya akan tetap bisa bahagia. Bukannya saya nggak mau menikah, tapi saya nggak tahu pasti apakah jodoh saya ada di dunia atau nggak. Kalau saya bilang begini pada ibu pasti beliau udah mencak-mencak.
Beberapa tahun terakhir saya akhirnya paham untuk nggak menitik beratkan kebahagiaan pada orang lain. Saya yang bisa memutuskn sendiri mau menjalani hidup dengan bahagia atau tidak. Saat ini pun saya sudah merasa bahagia dengan hidup saya. Meski masih ada sedikit insecure tapi wajar lah namanya juga hidup haha.
Menjadi selektif atau pemilih juga saya rasa wajar. Karena nggak mungkin dong saya asal terima lamaran orang hanya karena ‘sudah usia’? aduh, amit-amit deh semoga saya nggak sampai begitu. Nggak kebayang gimana menjalani pernikahan yang seperti itu. Setiap orang kan maunya nikah sekali aja.
Setiap orang memang memiliki pendapat yang berbeda-beda. Dan semoga nggak saling memaksakan kehendak untuk orang lain. Novel ini bagus banget. Seperti biasa, Kang Abik selalu menulis dengan gaya bahasa yang bikin saya merenungi hidup dan pengen menjalani hidup yang lebih baik.
Nah, buat teman-teman yang penasaran dengan bukunya bisa beli langsung di toko official penerbit Republika di sini.
Selamat membaca!
1 comment
Post a Comment